Mengapa Ada Guru Tak Berwibawa di Depan Siswa?

Guru merupakan sosok yang biasanya dianggap sempurna oleh anak didik nya. Seorang guru dianggap memiliki pengetahuan yang luas dan mumpuni. Memiliki kemampuan dan kecerdasan di atas rata-rata. Serta dianggap sosok yang selalu bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan teknologi . Selain itu, guru dianggap punya solusi yang tepat untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh anak didiknya. Maka tak jarang guru menjadi tempat untuk berbagi curhat dan masalah. Baik yang berkaitan dengan mata pelajaran maupun yang tidak ada hubungan sama sekali. Hal itulah yang menciptakan guru dianggap sosok yang sangat dikagumi dan dihormati. Ditambah mampu menjaga wibawanya dari sifat dan perilaku yang tidak terpuji.


Kita tentu memiliki sosok guru yang mempunyai kriteria di atas. Sosok yang telah mengilhami keberhasilan kita disamping keluarga. Karena bagaimanapun kita tentu banyak berhutang budi pada kesabaran dan ketekunan mereka mengolah kemampuan kita. Dari kita yang tidak mengerti baca tulis, hingga menjadi orang yang memiliki kemampuan dan keberhasilan di atas mereka. Terkadang masih terbayang bagaimana kita dimarahi, dihukum dan diajari berbagai macam pengetahuan. Dan tak jarang pula kita melecehkan dan menggunjing guru kita dibelakang. Ya tentu semoga semua itu menjadi amal untuk mereka guru kita dan juga bagi kita para penuntut ilmu.
Akan tetapi ada yang berubah saat ini. Ada guru yang justru mendapatkan perlakuan yang tidak semestinya. Mereka tidak dihormati oleh anak didiknya. Mendapatkan perlakuan yang kurang simpatik dari anak didiknya. Tidak diindahkan kata-katanya. Disepelekan nasihat dan saran-sarannya. Serta perlakuan jahil yang dilakukan anak didiknya.
Pertanyaan yang muncul adalah, mengapa hal itu terjadi pada guru tersebut?. Tentu kita tidak bisa melihatnya hanya dari satu sisi saja. Karena akan kurang bijak rasanya jika kita hanya menyalahkan pada satu pihak saja. Maka berikut ini adalah penilaian saya akan pertanyaan mengapa guru tak berwibawa di depan siswanya.


Yang pertama adalah guru. Guru hendaknya mampu memberikan contoh dan teladan yang baik bagi anak didiknya. Guru dituntut untuk bisa di gugu dan ditiru. Baik kata-katanya maupun perbuatannya. Artinya guru harus lebih baik tingkah laku dan ucapannya dari anak didiknya. Maka akan sangat tidak berarti jika guru justru melanggar aturan dan ucapan yang mereka ajarkan di sekolah. Ketika guru menyuruh anak didiknya disiplin, mereka juga harus memberikan contoh disiplin. Ketika guru mengajarkan untuk jangan berbohong kepada anak didiknya, maka mereka jangan berbohong. Ketika guru menyuruh untuk menguasai pengetahuan dan tekhnologi, mereka juga harus mengerti dan menguasai tekhnologi saat ini. Sayangnya, keadaan dan perkembangan jaman telah merubah semua itu. Entah karena faktor sengaja atau terpaksa. Tengoklah saat ini, berapa banyak guru-guru yang tidak sesuai dengan ucapan dan perbuatan mereka. Banyak guru sudah tidak disiplin dalam menjalankan kewajiban mereka sebagai guru. Berapa banyak guru yang tidak menguasai materi yang diajarkan. Berapa banyak guru yang masih gaptek dengan teknologi. Sehingga tak jarang kemampuan dan pengetahuan siswa justru melebihi gurunya. Berapa banyak kebohongan yang menjadi budaya di lakukan oleh pihak sekolah. Kebohongan dalam membuat pemberkasan, kebohongan dalam membuat SPJ bantuan, kebohongan dalam meluluskan anak didiknya saat Ujian Nasional. Belum lagi kalau mereka melakukan hal yang tidak terpuji di masyarakat. Karena mereka menjadi guru bukan karena panggilan hati. Tetapi karena terpaksa atau sebagai pelepas image dari status pengangguran. Maka wajar jika tidak sampai membekas makna dari nilai luhur apa yang mereka ajarkan.


Yang kedua adalah siswa. Siswa merupakan pribadi yang memiliki keunikan dan masalah sendiri-sendiri. Artinya guru harus siap menyikapi anak didiknya dengan bijak dan santun. Ada banyak perbedaan tentunya pada anak didik jaman dahulu dengan mereka yang bersekolah di jaman sekarang. Kenakalan yang mereka lakukan tentu lebih banyak dan aneh. Baik yang dilakukan secara individu maupun berjamaah. Dan hal itu tentu tak bisa terlepas dari penggunan dan penguasaan tenknologi yang mereka dapatkan. Betapa semakin mudah perilaku kenakalan dilakukan dan di mobilisasi secara cepat. Oleh karena itu guru tentu harus memiliki akses yang cukup untuk mengatasinya. Sehingga tak perlu ada kasus anak membawa konten porno dalam hp nya. Tapi guru tak bisa membuktikannya. Akibat mereka tidak tahu cara membuka atau menghapusnya. Selain itu, rasa hormat dan patuh secara tulus kepada guru mulai luntur dimiliki para siswa saat ini. Ditambah dengan tontonan sinetron yang mengajarkan perilaku siswa yang tidak senonoh. Misalnya dalam berpakaian, berbicara dan gaya hidup. Sehingga siswa mulai menilai kewibawaan guru dilihat dari kemewahan. Misalnya kendaraan, rumah, atau yang lainnya. Tentu berbeda dengan predikat Umar Bakri yang disandang guru-guru kita dahulu. Sosok yang wajar dengan kesederhanaan namun penuh wibawa.
Dan terakhir adalah orang tua. Orang tua merupakan bagian dari proses keberhasilan anak-anak dalam menyelesaikan pendidikan . Mereka tak cukup hanya memberikan fasilitas dan dana untuk anak mereka. Dituntut peran yang aktif sebagai media untuk membangun hubungan yang baik antar guru, orang tua, dan siswa sebagai objek. Orang tua hendaknya mengerti dan mengikuti perkembangan dan tingkah laku anak mereka melalui pihak sekolah. Sehingga mendapatkan porsi penilaian yang seimbang. Orang tua juga hendaknya memberikan kebebasan dan masukan bagi guru untuk mendidik anak mereka. Sehingga guru merasa memiliki tanggung jawab penuh tanpa harus khawatir dengan ancaman HAM yang berlaku saat ini. Sehingga guru tidak terkesan takut untuk menegakkan disiplin dalam sekolah pada muridnya.

sumber : Wiyuda Tara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar